Jumat, 11 September 2009

Dewi Kecil dan Kunang-kunang


Peristiwa ini terjadi sudah sangat lama sekali, di pinggiran sebidang hutan yang luas bermukim satu keluarga petani, seorang petani dan istrinya. Mereka adalah orang-orang yang baik hati juga rajin. Maka itu, dalam sekian tahun ini mereka tidak pernah kekurangan sandang pangan, selalu dalam kehidupan tanpa rasa khawatir sedikit pun, tetapi dalam hidup mereka selalu merasakan seperti kekurangan sesuatu, membuat mereka merasa hati kurang mantap. Ternyata, mereka sampai saat itu masih belum mempunyai satu orang anak pun. Cita-cita mereka yang paling besar saat itu adalah mempunyai seorang anak, supaya bisa mencurahkan seluruh hatinya untuk mencintai si kecil ini.

Pada malam hari itu juga, sewaktu dua orang tua itu sedang siap tidur. Mereka berdua sama seperti biasanya berkata pada diri sendiri: "Hai, bila kami bisa mempunyai seorang anak yang bisa bernyanyi, berlompat-lompat alangkah baiknya! Kami begitu ingin mempunyai seorang anak." Ketika mereka dengan suara rendah meracau, tiba-tiba di dekat rumah mereka muncul sebuah sorotan cahaya yang aneh, sinar cahaya ini menerangi seluruh hutan. Pemandangan ini membuat mereka tercengang, seumur hidup mereka tinggal di sini tidak pernah melihat fenomena tersebut. "Wah, apa yang terjadi?"

Lalu mereka memutuskan untuk keluar rumah melihat apa sesungguhnya yang terjadi. Ketika menelusuri cahaya tersebut, dengan cepat ketahuan di tengah cahaya cemerlang berdiri seorang gadis kecil yang cantik. Si gadis ini sungguh cantik sekali, ia mengenakan setelan rok dan blus berwarna putih dan bersih, wajahnya bagaikan rembulan terang yang jernih dan bersinar. Di bawah selubung sinar bintang dan bulan, seluruh tubuh memancarkan cahaya putih perak. Sepasang suami-istri lansia ini tidak pernah menemui gadis secantik ini, sungguh tidak berani mempercayai mata diri sendiri!.

Tiba-tiba melihat si gadis itu berjalan perlahan-lahan hingga di depan mereka, dengan suara lembut berkata: "Saya adalah putri dari dewi surga. Saya di surga bisa melihat kehidupan kalian sehari-hari, saya tahu kalian sedang berbuat apa dan memikirkan apa saja. Saya tahu kalian adalah orang yang baik hati, jujur dan rajin, hanya keinginan mempunyai anak sudah sedemikian lama belum bisa terwujud. Saya terharu oleh ketulusan hati kalian, dengan diam-diam saya meninggalkan surga ingin menjadi putri kalian untuk satu jangka waktu." Petani tua dan istri setelah mendengarnya, masih belum percaya. "Ini apakah benar? Cita-cita kami ingin mempunyai seorang anak apakah benar telah tercapai? Lagi pula adalah seorang gadis dari surga yang begitu cantik dan menakjubkan. Apakah bukan mata sudah kabur?"

Saat itu si dewi kecil lebih mendekat lagi, "Ini benar, mata Anda tidak kabur, sekarang mari kita bersama-sama pulang." Si petani dan istri setelah mendengar perkataan dewi kecil luar biasa senangnya. Mereka dengan riang gembira membawa dewi kecil pulang. Sejak itu, istri petani setiap hari menyiapkan makanan yang lezat untuk dewi kecil, juga sering menjahit pakaian bercorak yang cantik untuknya. Mereka bersama-sama bermain dan bernyanyi. Setiap malam, istri petani duduk di samping ranjang dewi kecil membacakan buku dan menceritakan banyak dongengan yang menarik, sampai dewi kecil tertidur.

Siang hari mereka menanam bunga di taman bunga, saat musim semi tiba, taman bunga penuh dengan bunga segar yang indah cemerlang. Sejak itu, dewi kecil, petani dan istrinya hidup bahagia bersama melewatkan hari-hari dengan penuh gembira dan bahagia. Karena dewi kecil cerdas dan manis, hatinya sangat baik dan jujur, oleh sebab itu orang-orang yang tinggal di sekitarnya sangat menyukainya, terutama anak-anak semuanya senang berteman dengannya. Anak-anak mengajarkan dia nyanyian dan dendang, dan dia menyanyikan lagu-lagu yang merdu dari atas langit sana, juga menceritakan kepada mereka keajaiban dan keindahan langit. Karena ketulusan dan kebaikan hatinya, terhadap siapa pun dia selalu sangat baik, juga suka menolong siapa saja yang ditemuinya.

Hal itu berlangsung selama beberapa tahun. Hingga pada suatu hari, petani dan istrinya tiba-tiba menemukan setiap malam hari tiba, dewi kecil menjadi sangat diam. Dia selalu seorang diri duduk di undakan depan rumah menengadah langit malam. Petani dan istrinya sangat mengkhawatirkannya. Akhirnya pada suatu hari, dia berkata pada petani dan istrinya, "Beberapa tahun ini saya hidup bersama kalian merasa sangat gembira, tapi itu di luar sepengetahuan ibuku. Saya dari surga diam-diam turun kemari, hal ini di atas langit adalah tidak diperbolehkan. Sekarang ibu telah menemukan saya, saya sudah tidak bisa bersama kalian lagi, besok ibu akan menjemput saya pulang ke rumah di atas langit."

Petani dan istrinya sepertinya sudah menduga semuanya ini: Si dewi kecil adalah dewi, mana mungkin selamanya hidup bersama mereka? Tetapi begitu mendengar dewi kecil akan meninggalkan mereka, sungguh tidak tega melepaskannya, merasa datangnya terlalu dini, terlalu cepat! Mereka bertiga sama-sama merasa sangat sedih.

Dua hari kemudian bulan muncul di langit yang gelap, cahaya sinar berwarna putih perak bagaikan jembatan langit dari surga lurus menembus ke bawah, langsung menuju rumah kecil yang ditinggali dewi kecil. Si dewi kecil kaget terbangun oleh cahaya terang tersebut, dia memandang ke luar jendela mengikuti arah cahaya, di tengah cahaya terlihat ada seorang dewi perlahan-lahan turun ke bawah. Dewi kecil mengerti inilah saatnya ibu membawa dia pulang ke surga. Dia lalu memegang tangan ibunya bersama-sama terbang menuju ke "rumah" mereka yang sesungguhnya.

Karena dewi kecil sangat mencintai petani dan istrinya, dia dengan berat hati menjatuhkan selayang pandang yang terakhir ke bumi. Butiran air mata gemerlapan di wajahnya, dia sangat mengharapkan mereka bisa mengetahui, bahwa dia sangat mencintai mereka! Sebagian jiwanya telah menyatu selamanya dengan mereka! Saat itu terjadilah keajaiban, air mata dewi kecil seperti tumbuh sayap, berterbangan turun ke bawah. Mereka memantulkan cahaya, tiba-tiba semua berubah menjadi kunang-kunang yang indah. Dewi kecil mengetahui, mulai saat itu, setiap kali petani dan istrinya melihat kunang-kunang berterbangan di sekitar rumah mereka, bisa mengingatkan mereka betapa bahagianya masa-masa hidup bersama dengan dirinya.

Dia berharap kunang-kunang yang indah ini bisa membawakan keajaiban bagi kehidupan semua orang. Inilah sebabnya mengapa orang sekarang setiap melihat kunang-kunang, dalam hatinya bisa diliputi rasa cinta dan rasa menakjubkan.

Kamis, 03 September 2009

Manusia yang Memahami Bahasa Burung

Pada zaman dahulu, ada seorang pelajar yang miskin, namanya Gong Ye Chang. Ia memiliki sebuah bakat yang tidak dimiliki orang lain, yaitu bisa memahami bahasa burung.

Duduk di bawah rindangnya pohon, adalah kebiasaan yang dilakukan oleh Gong Ye Chang setiap merasa lelah sehabis belajar. Sambil istirahat menikmati suasana angin yang sepoi-sepoi, ia dengan tenang mendengarkan burung kepodang bernyanyi, burung gereja mempergunjingkan temannya, bahkan ocehan cicak yang banyak mengandung informasi, tentang di mana tempat bermain yang menyenangkan dan tempat yang ada makanan enak, terkadang juga mendengar burung gagak mencaci maki yang lain, atau pertengkaran mulut suami-istri burung kenari benar-benar sangat menarik. Acap kali ia terpukau mendengarnya, dan begitu duduk bisa seharian. Orang lain mengira ia sedang melamun!

Suatu hari, ketika Gong Ye Chang sedang siap membuat masakan di dapur, mendapati di dalam tempayan tidak ada sebutir beras pun, dan ketika sedang risau, seekor murai terbang di luar jendela, dan bertengger di atas sebuah pohon, lalu berkata: "Gong Ye Chang, Gong Ye Chang, di balik gunung ada seekor domba gemuk, kamu makan dagingnya, biar saya makan ususnya!"

Setelah Gong Ye Chang mendengarnya, tidak begitu yakin dengan ucapan murai yang nakal, mengira murai sedang mempermainkan dirinya, maka sama sekali tidak peduli. Setelah murai menunggu sejenak, dan melihat Gong Ye Chang tidak memberikan reaksi sedikit pun, lalu kembali berteriak nyaring: "Gong Ye Chang, Gong Ye Chang, di balik gunung ada seekor domba gemuk, kamu makan dagingnya, biar saya makan ususnya!"

Akhirnya Gong Ye Chang berpikir, karena tidak ada beras untuk menanak nasi juga, lebih baik melihat dulu apakah memang benar atau bohong perkataan murai itu, maka pergilah ia ke sana. Burung murai terbang di depan menunjuk jalan, dan tidak lama kemudian tibalah di balik gunung itu.

Begitu Gong Ye Chang melihat ternyata memang benar ada seekor domba gemuk yang terluka, dan mati di sana. Dengan gembira ia berkata pada murai: "Kamu benar-benar tidak membohongi saya! Dan saya pasti akan menyisakan ususnya untukmu!" Kemudian dengan menguras seluruh tenaga dibawalah domba gemuk itu pulang ke rumah.

Dengan menggunakan parang, Gong Ye Chang mengiris sepotong-potong daging domba di dapur, burung murai berteriak lagi dengan suara nyaring: "Kamu makan dagingnya, biar saya makan ususnya!" Dengan kesal Gong Ye Chang berkata: "Ya, ya, kamu pergi dulu ke tempat lain, nanti setelah kamu kembali sudah ada usus yang disediakan untukmu!" Setelah burung murai mendengarnya, lalu dengan ceria terbang dan pergi dari sana.

Gong Ye Chang membuat semenu makanan siang yang lezat dari daging domba, dan benar-benar nikmat rasanya. Ia menganggap usus domba menjijikkan, dan lupa semestinya disisakan untuk diberikan pada murai, lantas membuang seluruh ususnya ke sungai. Tidak lama kemudian, burung murai terbang kembali, dan Gong Ye Chang baru ingat semestinya menyisakan usus domba untuk burung murai. Ia segera bergegas pergi ke sungai, namun usus-usus itu sudah menghilang entah ke mana. Dan dengan terpaksa Gong Ye Chang berkata pada burung murai: "Maaf ya, saya sudah membuang usus itu, dan saya benar-benar minta maaf!" Dengan amarahnya burung murai terbang pergi meninggalkannya, dan Gong Ye Chang juga tidak begitu peduli, maka perlahan-lahan lupa akan hal itu.

Musim dingin telah tiba, dan telah beberapa hari secara berturut-turut turun salju lebat, pada hari itu salju telah berhenti, tiba-tiba Gong Ye Chang mendengar ada suara sedang berteriak di luar dapur: "Gong Ye Chang, Gong Ye Chang, di balik gunung ada seekor domba gemuk, kamu makan daging, biar saya makan ususnya!" Begitu ia menyembulkan kepala dan melihat, ternyata lagi-lagi burung murai tempo hari sedang berkata padanya di atas pohon.

Gong Ye Chang sangat gembira, ada lagi daging domba ynag bisa dinikmatinya, lalu segera bergegas mengikuti burung murai pergi ke gunung. Namun, kali ini yang terbaring di puncak gunung bukan lagi seekor domba gemuk, melainkan orang yang mati beku kedinginan. Gong Ye Chang tahu ia telah ditipu oleh murai, sangat marah, namun sejak dini burung murai telah pergi. Ia melihat orang itu sudah tidak bernapas, apa daya, mau tidak mau ia pulang ke rumah.

Sore hari, tiba-tiba dua orang dari pengadilan pergi ke rumah Gong Ye Chang, menangkap dan membawanya pergi. Karena ada orang menemukan orang mati itu di balik gunung, dan ada yang melihat Gong Ye Chang seorang diri pergi ke gunung, lalu turun lagi, karenanya pejabat kabupaten menganggap bahwa orang yang mati di balik gunung itu dicelakai oleh Gong Ye Chang.

Gong Ye Chang membela diri dengan mengatakan: "Ketika saya ke sana, orang itu telah mati!"

Dengan marah pejabat kabupaten mengatakan: "Di musim salju yang lebat, apa yang kamu lakukan di atas gunung sana? Apalagi hanya ada jejak kakimu di atas gunung itu, jika bukan kamu yang mencelakai, lalu siapa?"

Gong Ye Chang tidak berdaya, terpaksa secara terperinci menceritakan pada pejabat kabupaten mengenai perkataan si burung murai, namun pejabat kabupaten sama sekali tidak percaya, ia menggebrak meja dan berkata: "Mana ada orang yang mengerti perkataan burung? Saya telah hidup setua ini, sama sekali tidak pernah mendengar ada hal demikian!" Lalu, pejabat kabupaten memenjarakan Gong Ye Chang.

Gong Ye Chang tahu, bahwa semua ini dikarenakan ia telah lupa menyisakan usus domba yang gemuk pada si burung murai, karenanya burung murai sengaja mencelakainya. Namun, ia juga tidak tahu bagaimana caranya agar supaya dapat membuat pejabat kabupaten itu percaya dengan kata-katanya.

Di dalam penjara begitu rapat dan ketat, hanya terbuka sebuah jendela kecil di atas tembok yang sangat tinggi. Gong Ye Chang melihat acap kali ada burung gereja terbang ke sana kemari di luar jendela, maka sering kali mendengar kata-kata burung gereja di bawah jendela, sehingga dengan demikian, hidupnya juga tidak merasa sedih.

Suatu hari, Gong Ye Chang mendengar seekor burung gereja berkata berisik: "Ayo, semua cepat kemari! Saya beritahu kalian sebuah kabar gembira! Di atas jembatan gerbang timur ada sebuah kereta sapi terbalik yang dipenuhi dengan muatan gabah, gabah-gabah itu bertebaran seladang! Ayo semuanya bergegas makan di sana!" Sambil berkata, segerombolan burung gereja semuanya terbang berlalu menuju ke sasarannya.

Begitu mendengar, Gong Ye Chang lantas segera berkata pada orang yang mengawasinya: "Segerombolan burung-burung gereja yang terbang pergi itu semuanya hendak ke jembatan gerbang timur untuk makan gabah. Kamu bergegas melapor pada pembesar kabupaten, agar ia mengutus seseorang ke gerbang jembatan timur untuk melihat-lihat, dan jika memang benar-benar ada sebuah kereta sapi terbalik yang dipenuhi dengan muatan gabah, maka bisa membuktikan bahwa saya mengerti perkataan burung."

Meskipun pejabat kabupaten tidak percaya dengan perkataan Gong Ye Chang, namun tetap mengutus orang pergi ke gerbang jembatan timur untuk melihat-lihat, dan ternyata, di sana memang benar-benar ada sebuah kereta sapi terbalik, dan gabah bertebaran seladang, segerombolan burung gereja sedang bersuka ria berebut mendahului burung lainnya mematuk gabah.

Akhirnya pejabat kabupaten percaya bahwa Gong Ye Chang memang benar-benar mengerti bahasa burung, juga percaya akan cerita mengenai si burung murai, dan setelah mengetahui bahwa orang yang mati di atas gunung itu sama sekali bukan dicelakai oleh Gong Ye Chang, lalu melepaskannya.

Setelah Gong Ye Chang pulang ke rumah, banyak sekali tetanga maupun teman-temannya secara berturut-turut datang menjenguknya. Dengan berkeluh kesah Gong Ye Chang berkata pada semua orang: "Setelah saya dipenjara, telah memahami sebuah kebenaran, yaitu bukan saja harus memegang janji terhadap manusia, bahkan terhadap burung pun harus memegang janjinya!


Kisah fabel ini tersebar luas. Dalam kisah itu, Gong Ye Chang tidak menepati janjinya terhadap burung, sehingga mendatangkan bencana yang tak terpikirkan, dari kisah ini jelaslah, bahwa terhadap burung pun harus menepati janjinya, apalagi terhadap manusia? Dan dalam realita kehidupan, Gong Ye Chang adalah seorang arif bijaksana, bukan saja murid Konghucu tetapi juga menantunya!

Rabu, 02 September 2009

Perangkap tikus



Seekor tikus
mengintip lewat sebuah celah ditembok untuk mengamati sang petani dan istrinya membuka sebuah bungkusan. Ada makanan apa kiranya? Ia terkejut sekali, ternyata itu jebakan tikus. Lari kembali ke ladang pertanian itu, tikus itu meneriakkan peringatan: "Awas! Ada jebakan tikus di dalam rumah. Awas! ada jebakan tikus di dalam rumah!"

Sang ayam tenang-tenang berkokok dan sambil tetap menggaruk tanah, mengangkat kepalanya dan berkata, "Ya, ya.. maafkan aku, pak Tikus, aku tahu ini memang urusan gawat bagi anda, tapi kan buat aku pribadi tak ada pengaruhnya. Jangan bikin aku pusinglah."

Tikus berbalik dan pergi menuju sang babi, katanya, "Ada jebakan tikus di dalam rumah, sebuah perangkap tikus dirumah!" "Wah, aku menyesal dengar kabar ini," si babi menghibur dengan penuh simpati, "tetapi tak ada sesuatupun yang bisa kulakukan kecuali berdoa. Yakinlah, kamu ada dalam doa-doaku!"

Tikus kemudian berbelok menuju si sapi. Sapi inipun berujar sinis, "Seperti apa ya pak Tikus sebuah jebakan tikus? Jadi saya dalam bahaya besar ya?"

Jadi tikus itu kembalilah kerumah, kepala tertunduk dan merasa begitu patah hati, kesal dan sedih, menghadapi jebakan tikus sendiri.

Malam itu juga terdengar sebuah suara menggema diseluruh rumah, seperti bunyi jebakan tikus yang berhasil menangkap korbannya. Istri petani berlari pergi melihat apa yang terperangkap. Di kegelapan itu ia tak bisa melihat bahwa yang terjebak adalah ekor ular amat berbisa. Ular itu sempat mematuk tangan istri petani itu.

Petani itu bergegas membawanya ke rumah sakit. Ia kembali ke rumah dengan demam. Sudah umum setiap orang akan menangani demam panas dengan memberikan sop ayam segar, jadi petani itu pun mengambil goloknya dan pergilah ia ke lahan belakang mencari bahan pokok untuk sopnya itu.

Penyakit istrinya berlanjut sehingga teman-temannya maupun para tetangganya datang duduk-duduk menjenguk, dari jam ke jam selalu berdatangan para tamu. Petani itupun menyembelih babinya untuk memberi makan para pengunjung itu.

Istri petani itu tak kunjung sembuh. Ia meninggal, jadi makin banyak lagi orang yang datang untuk pemakamannya sehingga petani itu terpaksa menjagal sapinya agar bisa menjamu orang yang datang.

Moral kisah ini: Bila kau mendengar ada seseorang yang menghadapi problem dan kau pikir itu tak berurusan denganmu, ingatlah bahwa apabila ada jebakan tikus didalam rumah, seluruh lahan pertanian ikut menanggung resikonya. Tanggap atas kesulitan orang lain akan "menyelamatkan semuanya"

Selasa, 01 September 2009

Mancian di Danau Singkarak

Cerita pendek, Cerita cinta, Cerpen , Cerita misteri, Cerita bergambar, cerita cinta

Mancian di Danau Singkarak


Waktu malam minggu,sakitar jam sabaleh malam..,awak baduo samo Zikra kawan awak manciang di Danau Singkarak.., aia danau sadang riak-riak.., sakitar satu jam kami mamanciang indak ado dapek lauk nyo do.,umpan lah abih.,.

Indak Lamo kamudian tibo lah urang dari Pakan Baru singgah untuk mamanciang di tampek kami tu,kiro-kiro ado sakitar 6 urang nyo. Anak jo bini nyo sato lo mamanciang malam- malam tu..

"Lah ado Dapek ikan Diak..??",kato salah surang laki-laki tadi.

"Alun ado lai Da...", Jawek si Zikra.

"Dari caliak caro nyo mamanciang urang ko dak biaso manciang di danau do Zik..??"kato awak ka si Zikra.

"ba a tu ..??"

"caliak lah bini urang tu....,mamanciang disiko batu - batu nyo sagadang godok,,apuang-apuang nyo pake bola karah-karah sagadang godok lo."

"huakak...kahh...kah...ado ado se mah..."

Lah sakitar tigo jam mamanciang indak yo dapek ikan do ..,umpan kami lah abih.Jadi kami cuma mangawanan urang Pakan Baru tu mamanciang lai.

Indak lamo panciang salah sorang laki-laki tadi panciang nyo dibanam an apuang-apuang nyo,

"Eh lai mah Da...,"kato Zikra.

"yo...gadang takah nyo mah.,,kareh unyuik nyo..."

Bakumpualah keluarga nyo disitu untuk mancaliak hasil yang didapek an.

"Ayo ..Pa..jaan ampe lapeh Pa..",kato bini Uda tu.

Tali panciang digulung taruih, ampiang sampai ditapian lai..lah mulai nampak mangkilek-kilek.

Tau tau nyo sampai panciang diangkek,tapampang lah softek yang lakek dimato panciang paja tadi.

"Aduh...,mimpi a den samalam...,,ado darah lo lai...",kato laki-laki tadi.

Awak samo Zikra payah manahan galak.... keluarganyo galak bacampua sadiah.