Seorang Sultan terkena penyakit parah, yang masih belum diketahui namanya. Beberapa dokter dari Jawa yang khusus didatangkan sepakat, bahwa untuk penyakit tersebut tidak ada obat selain empedu dari seseorang yang memiliki pertanda tertentu.
Sang Sultan memerintahkan untuk mencari orang yang dimaksud, dan akhirnya tanda-tanda yang disebutkan oleh para dokter dapat ditemukan pada anak kecil, putra seorang petani. Ayah dan ibunya dipanggil dan diberikan banyak hadiah hingga mereka puas. Hakim memberikan pertimbangannya, bahwa diperbolehkan untuk mengorbankan darah seorang bawahan demi mempertahankan nyawa Sultan.
Ketika tiba saatnya algojo menghabisi nyawanya, anak tersebut memalingkan wajah ke langit dan tertawa. “Bagaimana kamu dapat tertawa di saat demikian?”, Sultan yang menyaksikan bertanya. Anak tersebut menjawab: Mengasuh anak dengan kasih sayang adalah kewajiban ayah dan ibu; pertimbangan hukum ditujukan ke hakim, dan keadilan dituntut dari seorang penguasa; tetapi sekarang, demi harta duniawi, ayah dan ibu telah menyerahkan saya pada kematian, hal mana juga telah disetujui oleh hakim, sedangkan Sultan melihat keselamatan dirinya dalam kematian saya; selain kepada Tuhan saya sungguh tidak melihat lagi tempat untuk berpaling.
Hati Sultan sangat tersentuh, sehingga air matanya mengalir. Sultan berkata: Lebih baik saya mati, daripada menumpahkan darah orang yang tidak berdosa. Sultan mencium kepala dan mata anak tersebut, memeluknya erat-erat dan memberikan hadiah yang berlimpah serta membiarkan anak tersebut pergi. Diceritakan, Sultan tersebut pada minggu yang sama sehat kembali.Dan membiarkan mereka hidup bagaia seperti sedia kala lagi. Kasian nyawa seorang anak kecil dikorbankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar